Keris atau dhuwung dan disebut juga “curiga” termasuk yang
dinamakan tosan aji (tosan-besi, aji- dihormati karena dianggap bertuah). Keris
adalah jenis senjatayang dianggap bertuah atau keramat dan dalam kehidupan
masyarakat dipandang sebagai pusaka. Oleh karena itu perawatannya menjadi
sangat khusus. Pandangan itu mengakibatkan keris mempunyai kekuatan tersendiri
sebagai artefak budaya dan layak untuk dilestarikan secara preservasi maupun
konservasi. Pusat konservasi Keris Nusantara STSI Surakarta berkewajiban untuk
melestarikan keberadaan keris secara revitalisasi maupun reinterpretasi
Keris atau dhuwung dan disebut juga curiga, yang juga dinamakan
tosan aji (tosan--besi, aji--dihormati karena dianggap bertuah). Keris atau
tosan aji adalah jenis senjata yang dianggap bertuah atau keramat. Keris
disamping diyakini sebagai benda bertuah atau keramat, juga sering dikaitkan
dengan adanya kekuatan “gaib” Oleh karena itu dalam kehidupan masyarakat
dipandang sebagai pusaka.
1. Pandangan masyarakat
Pandangan sebagian masyarakat (Jawa) terhadap keris akan
selalu berkaitkan dengan soal gaib dan berhubungan erat dengan keyakinan
(kepercayaan) mereka. Namun kemampuan untuk menafsirkan “kegaiban” pada setiap
keris sangat beragam. Berdasarkan cerita mithos; keris berasal dari pemberian
Dewa tanpa diketahui pembuatnya; misalnya keris Pasupati dalam pewayangan
diberikan oleh dewa kepada Harjuna karena membunuh raksasa Newatakawaca yang
menyerang khayangan (lihat kitab Arjunavivaha)
Ada keris yang terjadi dari taring Batara Kala dan bernama
Keris Kaladete, keris yang kemudian dimiliki oleh Adipati Karna
Cerita semacam itu banyak diambil dari situs Mahabarata. Keris
dalam cerita Arjunavivaha (dibaca
Arjunawiwaha) tersebut digambarkan sebagai hadiah Dewa kerena mampu
mengalahkan raksasa Newatakawaca dan membawa ketenangan khayangan Demikian juga
dengan keris Kaladete diberikan oleh Batara Kala, karena ingin membalas dendam
terhadap Gatutkaca.
Pada cerita sejarah, ada keris yang berhubungan dengan
berdirinya suatu kerajaan, misalnya “Keris Empu Gandring” yang dipesan oleh Ken
Arok akhirnya untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel, setelah berhasil Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari dan mempersunting istri Tunggul Ametung
yakni Ken Dedes. Cerita ini terdapat dalam Kitab Pararaton.
Diceritakan juga pada jaman Mataram, Ki Ageng Wanabaya (Ki
Ageng Mangir) mendapat keris kyai baru. Kyai Baru adalah penjelmaan seekor naga
yang sedang bertapa dan membelit Gunung Merapi, sebagai syarat untuk
mendapatkan separo kerajaan Pajang. Cerita ini berhubungan dengan terjadinya
Rawapening Ambarawa. Dan cerita ini sangat populer dalam masyarakat dan
bersifat cerita rakyat
Fenomena keris di atas dalam cerita mithos, cerita sejarah
dan cerita rakyat dan bahkan mungkin cerita-cerita yang lain seolah mempunyai
kekuatan diluar kemampuan manusia (kekuatan gaib). Bahkan ada cerita tentang
keris yang mampu menghilang dan datang dan kembali ke asalnya (Dewa), dan atau
pindah ke lain pemilik sesuai kehendaknya. Ini kemudian diyakini oleh sebagian
masyarakat karena fenomena gaib atau mempunyai kekuatan diluar kekuatan
manusia. (Apakah cerita itu benar, ya saya kembalikan kepada rekan-rekan
komuniotas keris).
Yang menjadi pokok persoalan bukan isi cerita itu, kebenaran
cerita itu, atau betulkah keris punya kekuatan gaib. Yang sangat penting adalah
Fenomena cerita di atas mempunyai kekuatan yang dasyat dan mampu membentuk
emage masyarakat tentang keberadaan keris. Cerita-cerita tersebut mampu
membentuk opini masyarakat untuk dan mampu mempertahankan artefak budaya
(keris), sekaligus mengantarkan keris sebagai warisan budaya. Keris sebagai
ekspresi budaya nusantara mampu dilestarikan keberadaannya, lewat fenomena
cerita-cerita dan kemudian mampu memberikan wacana kepada masyarakat sebagai
keyakinan. Keyakinan terhadap keris sebagai benda pusaka yang dikeramatkan,
maka seolah ada kuajiban masyarakat untuk merawatanya. Itu merupakan bukti daya
tahan kebudayaan dalam masyarakat.
Fenomena keyakinan masyarakat itu lahir dan berkembang di
semua individu masyarakat Jawa . Keyakinan-keyakinan itu menghatarkan keris
sebagai artefak yang mampu bertahan sebagai pusaka budaya. Fenomena ini yang
disebut dengan metode rekayasa cultural yang mereka trapkan melalui munculnya
cerita mitos, cerita sejarah dan cerita rakyat. Keris kemudian bukan lagi
sekedar sebagai senjata tetapi merupakan fenomena dalam rangka membangun
pilar-pilar kebudayaan Keris yang konon sebagai senjata tikam, kemudian keris
digunakan para prajurit dan pengageng keraton sebagai senjata sekaligus sebagai
lambang status dalam tata busana di dalam keraton. Bahkan keris juga dipakai
sebagai pelengkap upacara dilingkungan Istana dan keris secara syah menjadi
lambang pengagungan dan status kebangsawanan.
Perubahan pranata sosial masyarakat, mengakibatkan perubahan
fungsi keris. Keris sebagai senjata tikam dan sekaligus sebagai lambang status
kebangsawanan dilingkungan keraton mulai bergeser. Namun perlu dicatat bahwa
pergeseran keris tersebut di atas tetap mengacu pada fenomena keraton sebagai
sumber budaya pengagungan. Sehingga berbicara “keris” tidak akan lepas dari
keraton sebagai pusat kebudayaan. Itulah mengapa pemakaian keris pada uapacara-upacara
hajatan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap mengacu ke dalam Keraton
sebagai sumber budaya pengagungan.
2. Pergeseran terhadap ikatan cultural
Perkembangan teknologi dan informasi dalam era globalisasi
dewasa ini. secara tidak langsung akan mempengarui gerak dinamika kehidupan
seni budaya. Kemampanan seni budaya terutama kehidupan budaya etnis, akan
mengalami perubahan secara kultural. Seni budaya tradisi yang tidak lepas dari
ikatan nilai sosio-kultural (hubungan integral antara seni dan masyarakat),
mulai terkoyak oleh perkembangan jaman lewat arus teknologi informasi.
Kekentalan ikatan nilai kebersamaan yang membuahkan satu bentuk budaya yang
memiliki dan diyakini, akhirnya sedikit demi sedikit bergeser. Ikatan nilai
sosio-kultural beralih ke dalam ikatan individu-kultural. Orientasi terhadap
kepentingan sosial masyarakat beralih atas kepentingan individu yang
fungsional. Keris (tosan Aji) yang dulu merupakan karya tradisi yang punya
ikatan sosio-kultural kini bergeser oleh kepentingan individu cultural.
Keris sebagai artefak budaya, dalam perkembangan selanjutnya
akan dihadapkan oleh dua kekuatan; kekuatan Konservasi dan kekuatan progresi,
kekuatan dimana satu pihak untuk melestarikan satu pihak ingin maju. Pandangan
Konservasi menghendaki segala kekuatan budaya selalu berorientasi kepada masa
lalu, sehingga ada benang emas yang menghubungkan budaya kini dan budaya masa
lalu tak terpisahkan oleh arus globalisasi. Pandangan progresif menghendaki
adanya sebuah perubahan yang mengarah pada modernisasi budaya.
Perkembangan seni budaya dari dunia ketiga termasuk Indonesia, dewasa ini dihadapkan dalam dua pilihan tersebut di atas. Kebudayaan nasional yang bertitik tolak dari kebhinekaan dari puncak budaya daerah, mencoba memberi alternatif kemajuan yang secara progresif mengarah perkembangan dunia. Bahkan dapat dikatakan bahwa aset budaya nasional mengarah pada kekuatan konservasi- progresif. Kekuatan tersebut akan membawa konsekuensi logis adanya dua alternatif pelestarian; pelestarian preservatif dan konservatif 3. Dampak ini juga akan dihadapi oleh komunitas keris. Keris secara preservasi di simpan dan dirawat sebagai salah satu budaya kelangenan sebagai pusaka budaya. Pelestarian konservasi merupakan pelestarian dengan mencoba mengembangkan nilai sesuai dengan pranata sosial masyarakat.
Perkembangan seni budaya dari dunia ketiga termasuk Indonesia, dewasa ini dihadapkan dalam dua pilihan tersebut di atas. Kebudayaan nasional yang bertitik tolak dari kebhinekaan dari puncak budaya daerah, mencoba memberi alternatif kemajuan yang secara progresif mengarah perkembangan dunia. Bahkan dapat dikatakan bahwa aset budaya nasional mengarah pada kekuatan konservasi- progresif. Kekuatan tersebut akan membawa konsekuensi logis adanya dua alternatif pelestarian; pelestarian preservatif dan konservatif 3. Dampak ini juga akan dihadapi oleh komunitas keris. Keris secara preservasi di simpan dan dirawat sebagai salah satu budaya kelangenan sebagai pusaka budaya. Pelestarian konservasi merupakan pelestarian dengan mencoba mengembangkan nilai sesuai dengan pranata sosial masyarakat.
Pengaruh teknologi dan informasi dalam era globalisasi ini
akan mempengarui pertumbuhan dan perkembangan budaya daerah, otomatis akan
mempengarui kebudayaan nasional yang mengacu pada puncak budaya daerah.
Kebudayaan yang merupakan kekayaan budaya nasional mulai terancan eksitensi dan
essensinya. Keris sebagai kekuatan transenden dan sebagai budaya keyakinan
lokal pada masyarakat mulai tergeser pada kekuatan ontologis yang mengarah pada
kekuatan untuk menguasai dan mengolah budaya lokal sebagai budaya alternatif
(seni komuditas), dan keris dihadapkan pada pasar.
Keris yang konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini
dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif
pelesatarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah dan dikeramatkan, dirumat
dan diyakini sebagai pusaka. Kini keris merupakan benda alternatif seolah
barang dagangan siap jual dan menunggu pembelinya.
No comments:
Post a Comment