PENGERTIAN GENDER SECARA UMUM
Secara
umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini persoalan
Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif
pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan
sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang diharapkan, karena
akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum laki-laki. Ada
beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan Gender.
Kata
Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols
dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan
tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah
suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku
Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan
dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan
sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat
tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain
(Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri
Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam
beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan
makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai
suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender
sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk
memandang kenyataan.
Epistimologi
penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme
yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran
fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat
terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari
unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis
dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif dapat dihubungkan dengan
karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart Spincer (1820-1930), dan masih
banyak para ilmuwan yang lain.
Teori
fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan
harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan
respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur
peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan
disfungsional.
Hilary M.
Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori fungsionalis.
Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih
condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam
teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian,
keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert Bales).
Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan
dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai
peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk berada pada peran
domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik. Dalam masyarakat seperti
itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Kritik
terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi ciri khas
keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu tugas dan
tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi tersebut
tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan
teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena bersumber pada tulisan
dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan sosial, terjadi melalui
proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan masyarakat terdapat
beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Friedrich
Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan Gender tidak
disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis), akan tetapi merupakan
divine creation.
Engels
memandang masyarakat primitiv lebih bersikap egaliter karena ketika itu belum
dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara nomaden sehingga belum
dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga dibangun atas peran
komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang sama dengan laki-laki.
Menurut
Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan.
Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan
produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran
produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi,
sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh
murah dan mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar
pihak kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat
mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan
Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat dengan Marx dan
Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan pekerja kepada
pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan antara anak dan
orang tua, istri dengan suami, yunior dengan senior dan sebagainya.
GENDER
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam
perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kudratnya
masing-masing.
“Sesungguhnya
segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49).
Para
pemikir Islam mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang
ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kudrat. Dengan
demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki
kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat
kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan
bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan
sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat Al-Quran yang
populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan
adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1 :
”Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari
diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya
Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..............”
Yang
dimaksud dengan nafs di sini menurut mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan
pasangannya adalah istrinya yaitu Siti Hawa. Pandangan ini kemudian telah
melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan
adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak
sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari
tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan
demikian.
Kalaupun
pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka
harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka
baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Allah
menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195
”Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir
dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang
dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku
masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai
pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Maksud
dari sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain adalah sebagaimana
laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya
perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia,
tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
Adanya
perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki
kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis.
Al-Quran mengingatkan:
” Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat di
atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan.
Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan
itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi
utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan
tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua
jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan
memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar
manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada
kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran
menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka
mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan
menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar
dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir,
mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah
serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.
Jenis
laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan
bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS.
An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada
kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong
menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran
memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan
memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Sepintas
terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat
tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan
tentang derajat tersebut yaitu firmanNYA, “Para istri mempunyai hak seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai
satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata
derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami
terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara
tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material
dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin
dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar
anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu
suaminya untuk menambah penghasilan.
Jika
demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan
perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa
ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan
istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi
kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah
ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang
lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kotab suci Al-Quran
baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS.
Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21)
serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan
suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah
pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS.
Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman,
laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang
lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS.
At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi
perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa,
sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu
mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas
dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja
mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab
suci.
No comments:
Post a Comment