MANUSIA telah
dirumuskan oleh Sigmund Freud sebagai sebuah konstruksi yang ditentukan oleh
faktor biologis dengan memberi tekanan pada alam bawah sadar, dorongan-dorongan
biologis, represi. Sementara Karl Marx melihat manusia dideterminasi oleh
masyarakat, terutama sekali oleh sistem ekonominya. Namun, Erich Fromm, kendati
mendapatkan pengaruh besar dari dua pemikiran itu, justru menempuh jalan lain
untuk memahami dan menjelaskan karakteristik utama dari sifat dasar umat
manusia.
Dalam artian,
Fromm menempuh jalan tengah dari dua buah teori besar itu dengan menggabungkan
penemuan Freud -- atas daya psikis dinamis sadar dan tidak sadar -- dengan
menggunakan konsep karakter sosial yang diajukannya dengan gagasan-gagasan
Marx; bagaimana manusia ditentukan oleh persyaratan-persyaratan ekonomi dan
sosial.
Fromm kemudian menambahkan suatu sistem determinisme lain dari perpaduan dua hal ini: gagasan tentang kebebasan. Dia membolehkan masyarakat untuk "melampaui" determinisme yang disodorkan oleh Freud dan Marx. Bahkan, Fromm menjadikan kebebasan sebagai karakeristik utama dari sifat dasar umat manusia.
Bagi Fromm,
pertanyaan pentingnya di sini adalah, apakah individu mampu mengembangkan
orientasi karakter yang produktif -- atau dengan kata lain -- menjadi makhluk
sosial dan secara otomatis mampu berhubungan dengan manusia lain dan dengan
diri sendiri dalam suatu cara yang terorientasi menuju perkembangan cinta,
nalar, dan kerja produktif: tujuan-tujuan humanistik.
Kalau Erich Fromm masih hidup dan memandang era reformasi yang saat ini mengangkangi atmosfer yang memayungi kehidupan politik di negara Republik Indonesia, ia mungkin akan terkenang pada romantisme revolusi besar kemanusiaan yang bermula dari kehidupan di Abad Pertengahan -- yang menjadi simbol dari kehidupan yang dideterminasi biologis dan sosial yang kendati kurang metampakkan kebebasan, tapi memiliki struktur, arti, tanpa keraguan, tanpa penyebab munculnya pencarian jiwa, kenyamanan, dan tak pernah menderita krisis identitas.
Sebuah perjalanan sejarah yang terentang lebih dari lima ratus tahun hanya untuk memunculkan gagasan individualisme, termasuk di dalamnya pemikiran-pemikiran individual, perasaan-perasaan, moral, hati nurani, kebebasan, dan tanggung jawab. Namun, yang kemudian disadari bersama dengan individualitas itu muncul isolasi, alienasi, kebingungan, kegelisahan: sebuah kondisi psikologis humanisme yang sungguh paradoksal.
Kalau Erich Fromm masih hidup dan memandang era reformasi yang saat ini mengangkangi atmosfer yang memayungi kehidupan politik di negara Republik Indonesia, ia mungkin akan terkenang pada romantisme revolusi besar kemanusiaan yang bermula dari kehidupan di Abad Pertengahan -- yang menjadi simbol dari kehidupan yang dideterminasi biologis dan sosial yang kendati kurang metampakkan kebebasan, tapi memiliki struktur, arti, tanpa keraguan, tanpa penyebab munculnya pencarian jiwa, kenyamanan, dan tak pernah menderita krisis identitas.
Sebuah perjalanan sejarah yang terentang lebih dari lima ratus tahun hanya untuk memunculkan gagasan individualisme, termasuk di dalamnya pemikiran-pemikiran individual, perasaan-perasaan, moral, hati nurani, kebebasan, dan tanggung jawab. Namun, yang kemudian disadari bersama dengan individualitas itu muncul isolasi, alienasi, kebingungan, kegelisahan: sebuah kondisi psikologis humanisme yang sungguh paradoksal.
Gejala paradoksal
itu pun, pada gilirannya dilahirkan pula oleh reformasi bangsa ini: sebuah
perubahan yang semula menghampirkan nilai-nilai kebebasan dalam bentuk
pengembalian kedaulatan sebuah rezim kepada rakyat. Sungguh, sebuah fakta yang
tidak boleh mengagetkan karena sangat boleh jadi substansi reformasi ini adalah
penataulangan kembali manusia dan kemanusiaan Indonesia dalam kaidah demokrasi.
Akan tetapi,
kenapa reformasi yang terjadi malah seperti telah mencampakkan harapan-harapan
yang pernah disandangnya, dengan berjalan jauh dari rel yang disediakan oleh
idealitas reformasi seperti yang diajukan oleh para mahasiswa? Kenapa reformasi
menjadi teka-teki tersendiri bagi rakyat dan bangsa Indonesia? Kenapa semuanya
seolah terlantar dan akhirnya banyak yang "mendeklarasikan" kematian
reformasi atau malah demokrasi?
Lari dari kebebasan
Tak bisa
dipungkiri, bahwa reformasi "dibeli" bangsa ini dengan harga yang
teramat mahal: keterpurukan ekonomi yang parah, krisis kebangsaan, dan sederet
krisis lainnya sampai pada tumbal nyawa. Semua itu hanya diperuntukan untuk
melepaskan diri dari cengkeraman sebuah rezim yang otoriter dan korup. Namun,
kenapa lantas tersia-sia? Menurut Fromm: Kebebasan adalah hal sulit untuk
dimiliki dan jika kita mampu, kita cenderung lari darinya.
Fromm menjelaskan tiga cara untuk "lari dari kebebasan". Pertama, otoritarianisme. Kita berusaha menghindari kebebasan melalui penggabungan diri kita dengan orang lain, dengan menjadi bagian dari suatu sistem otoritarian, seperti masyarakat di Abad Pertengahan. Ada dua cara untuk menjalankan hal ini. Satu, dengan menyerah pada kekuatan lain, menjadi pasif dan pasrah. Dua, dengan menjadi kekuasaan itu sendiri, seseorang yang menerapkan struktur pada orang lain. Mana pun yang dipilih, anda telah lari dari kebergandaan identitas Anda. Fromm menunjuk pada bentuk ekstrim dari otoritarianisme seperti masokisme dan sadisme. Kedua, destruktivitas. Penganut otoritarian memberi reaksi pada eksistensi yang menyiksa -- sedikit banyak -- dengan mencoba melenyapkan diri mereka sendiri: Jika tidak ada Aku, bagaimana sesuatu hal bisa melukai Aku? Namun, yang lain merespons rasa sakit dengan menyerang dunia: Jika aku menghancurkan dunia, bagaimana ia bisa melukai aku? Lari dari kebebasan semacam inilah yang bertanggung jawab atas banyak kejahatan dalam kehidupan ini -- kekejaman, pengrusakan, penghinaan, kriminalitas, dan terorisme. Fromm menambahkan, jika hasrat merusak seseorang terhalang oleh keadaan, ia akan mengubah arahnya justru ke dalam dirinya sendiri. Bentuk paling nyata dari penghancuran diri sendiri, tentu saja, adalah bunuh diri. Namun, bisa juga dimasukkan ke dalamnya bentuk-bentuk penyakit, kecanduan obat, alkoholik, bahkan kesenangan terhadap hiburan pasif. Ketiga, persesuaian otomaton -- orang/hewan yang bergerak secara otomatis. Kaum otoritarian lari dengan bersembunyi dalam hierarki otoritarian. Namun, masyarakat kita menekankan persamaan. Ketika ingin bersembunyi, kita bersembunyi di dalam budaya masyarakat kita. Orang yang memanfaatkan persesuaian otomaton akan seperti bunglon sosial. Ia mengubah warna sesuai warna sekelilingnya.
Fromm menjelaskan tiga cara untuk "lari dari kebebasan". Pertama, otoritarianisme. Kita berusaha menghindari kebebasan melalui penggabungan diri kita dengan orang lain, dengan menjadi bagian dari suatu sistem otoritarian, seperti masyarakat di Abad Pertengahan. Ada dua cara untuk menjalankan hal ini. Satu, dengan menyerah pada kekuatan lain, menjadi pasif dan pasrah. Dua, dengan menjadi kekuasaan itu sendiri, seseorang yang menerapkan struktur pada orang lain. Mana pun yang dipilih, anda telah lari dari kebergandaan identitas Anda. Fromm menunjuk pada bentuk ekstrim dari otoritarianisme seperti masokisme dan sadisme. Kedua, destruktivitas. Penganut otoritarian memberi reaksi pada eksistensi yang menyiksa -- sedikit banyak -- dengan mencoba melenyapkan diri mereka sendiri: Jika tidak ada Aku, bagaimana sesuatu hal bisa melukai Aku? Namun, yang lain merespons rasa sakit dengan menyerang dunia: Jika aku menghancurkan dunia, bagaimana ia bisa melukai aku? Lari dari kebebasan semacam inilah yang bertanggung jawab atas banyak kejahatan dalam kehidupan ini -- kekejaman, pengrusakan, penghinaan, kriminalitas, dan terorisme. Fromm menambahkan, jika hasrat merusak seseorang terhalang oleh keadaan, ia akan mengubah arahnya justru ke dalam dirinya sendiri. Bentuk paling nyata dari penghancuran diri sendiri, tentu saja, adalah bunuh diri. Namun, bisa juga dimasukkan ke dalamnya bentuk-bentuk penyakit, kecanduan obat, alkoholik, bahkan kesenangan terhadap hiburan pasif. Ketiga, persesuaian otomaton -- orang/hewan yang bergerak secara otomatis. Kaum otoritarian lari dengan bersembunyi dalam hierarki otoritarian. Namun, masyarakat kita menekankan persamaan. Ketika ingin bersembunyi, kita bersembunyi di dalam budaya masyarakat kita. Orang yang memanfaatkan persesuaian otomaton akan seperti bunglon sosial. Ia mengubah warna sesuai warna sekelilingnya.
Oleh karena itu,
ia tampak seperti jutaan lainnya, dia tidak lagi merasa sendirian. Mungkin ia
memang tidak sendirian, tapi ia juga bukan dirinya sendiri. Orang-orang ini
mengalami pemisahan antara perasaan aslinya dan warna yang ia tunjukan pada dunia.
Pada ujungnya dan pada kenyataannya pula, karena "sifat dasar" umat
manusia adalah kebebasan, setiap cara lari dari kebebasan di atas akan semakin
menjauhkan kita dari diri kita sendiri.
Perspektif Fromm tentang lari dari "kebebasan ini", paling tidak, menjadi deskripsi yang mecuatkan akar dari enigma, bahkan stigma yang selama ini menempel pada tema besar perubahan politik yang bernama Reformasi. Dan menjadi salah satu jawaban alternatif, ketika reformasi tak bisa meluputkan dirinya sendiri dari definisi kestatusquoannya sendiri: reformasi adalah sebuah perubahan ke arah entah ke mana.
Perspektif Fromm tentang lari dari "kebebasan ini", paling tidak, menjadi deskripsi yang mecuatkan akar dari enigma, bahkan stigma yang selama ini menempel pada tema besar perubahan politik yang bernama Reformasi. Dan menjadi salah satu jawaban alternatif, ketika reformasi tak bisa meluputkan dirinya sendiri dari definisi kestatusquoannya sendiri: reformasi adalah sebuah perubahan ke arah entah ke mana.
Sangat boleh jadi,
reformasi adalah masa jeda bagi bangsa ini untuk beringsut dari kehidupan
politik di bawah otoritarianisme ke kehidupan politik di bawah otoritarianisme
lainnya. Betapa tidak, segenap langkah untuk menunaikan amanat reformasi telah
terantuk-antuk pada batu-batu kerikil kekuatan lama yang penyebarannya sekarang
sudah meliputi seluruh ruang yang dulu sempat ditebarkan oleh elan reformasi
untuk dilalui bangsa ini menuju ke arah masa depan Indonesia baru yang jauh
lebih baik.
Apa yang terjadi
sekarang? Pengadilan Soeharto beserta kroni-kroninya, terjerembab pada wacana
sempit seputar kesehatan pemimpin Orde Baru itu. Terus saja berputar-putar
seperti itu, tanpa sedikit pun melompat pada substansi permasalahan yang
sebenarnya. Tema pengadilan Soeharto sudah sejak lama telah tercerabut dari
akar kontekstualnya.
Sementara itu,
semangat antireformasi telah lama berada di posisi mereka yang menentang
amandemen UUD 1945. Kekuatan ini tertebar rata di badan legislatif, eksekutif,
partai politik, bahkan organisasi massa partisan dan nonpartisan. Tampaknya,
kekuatan mereka cukup besar, untuk sekadar mendorong bangsa ini tercebur ke
dalam krisis konstitusi yang seperti dimaklumi akan berujung pada disintegrasi
nasional bila gagal dielaborasi secara baik.
Mau tahu nasib amanat reformasi yang bertema penegakan supremasi hukum di Indonesia? Utusan Khusus PBB Dato Param Cumaraswamy mengatakan, sistem hukum kita adalah salah satu yang terburuk di dunia! Cumaraswamy juga heran, kenapa semua bisa terjadi, apalagi ada kesan kuat semuanya dibiarkan saja. Beliau juga meragukan adanya political will dari pemerintahan Presiden Megawati untuk memperbaiki semuanya, termasuk pemberantasan KKN dan melakukan pembaruan hukum.
Mau tahu nasib amanat reformasi yang bertema penegakan supremasi hukum di Indonesia? Utusan Khusus PBB Dato Param Cumaraswamy mengatakan, sistem hukum kita adalah salah satu yang terburuk di dunia! Cumaraswamy juga heran, kenapa semua bisa terjadi, apalagi ada kesan kuat semuanya dibiarkan saja. Beliau juga meragukan adanya political will dari pemerintahan Presiden Megawati untuk memperbaiki semuanya, termasuk pemberantasan KKN dan melakukan pembaruan hukum.
Rupanya, Utusan
Khusus PBB yang satu ini tidak tahu, bahwa absennya political will yang
dimaksudkannya itu pula yang bertanggung jawab terhadap klaim kematian
reformasi, seperti yang disimbolkan oleh gagalnya pembentukan Pansus Buloggate
II di DPR. Dengan demikian, tak mengherankan apabila tindak KKN di era
reformasi ini justru semakin menggila saja dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya.
Semua itu tentu
saja bermuarakan kekecewaan rakyat yang semakin lama semakin terakumulasikan
dan sayangnya tak terelaborasikan dengan baik. "Bom waktu" kekecewaan
ini tak terelakan lagi kemudian tercecer dalam bentuk musim semi budaya
kekerasan, kriminalitas, dan maraknya kasus-kasus pengonsumsian narkoba,
minuman keras, dan banyak perilaku menyimpang lainnya.
Inilah sisi buram
dari reformasi yang pernah secara bersama-sama kita tempatkan di puncak
kesepakatan kita sebagai bangsa, yang lantas secara kolektif kita sangkal dalam
berbagai ekspresi. Seakan membenarkan teori Fromm "lari dari
kebebasan" (escape from freedom. Sebuah keputusan yang seakan
merefleksikan kebodohan kita sebagai bangsa atau justru yang merefleksikan
resistensi kita yang "membadak" untuk survive menjalankan kehidupan
di bawah kangkangan rezim otoriter. Anehnya, simpulan ini seperti menyiratkan
dengan kuat sebuah tesis menyedihkan bahwa bangsa ini merasa
"kehilangan" kehidupan penuh represi yang berasal dari sebuah rezim
yang sentralistik. Sebuah kehilangan yang sangat besar! Inikah psikologi
paradoksal bangsa Indonesia?
Entahlah! Yang
jelas, reformasi telah menjadi sistem nilai yang diliputi kabut misteri yang
tebal, hanya karena bangsa ini tak sanggup bersikukuh pada integritas tafsir
reformasi itu sendiri. Dengan begitu, yang paling disayangkan adalah bahwa
reformasi telah "diperkosa" berkali-kali oleh banyak kepentingan yang
tak satu pun di antaranya bersinggungan dengan kepentingan rakyat dan
demokratisasi.
Pada akhirnya,
kita harus membenarkan keyakinan Fromm dalam salah satu diktumnya,
"Mungkin kita gigih memperjuangkan -- sesuatu yang bersifat politik --
demi kebebasan, namun ketika kita sudah mendapatkannya, kita cenderung menjadi
kompromis dan seringkali tak bertanggung jawab."
Tentu saja, Fromm
sangat mendukung kebebasan politik, tapi terutama sekali ia ingin agar kita
mampu memanfaatkan kebebasan tersebut dan mau memikul segala tanggung jawab
yang datang bersamanya. Selain itu, manusia harus berjuang tidak saja melawan
bahaya kematian, kelaparan, atau dilukai, namun juga melawan suatu bentuk
kegusaran lain yang hanya dimiliki manusia: yaitu kegilaan. Dengan kata lain,
manusia harus melindungi diri bukan saja dari bahaya kehilangan hidup, namun
juga dari bahaya kehilangan akal pikirannya.
Padahal kita tahu
bahwa jauh sebelumnya bangsa ini pernah dipenjarakan oleh berbagai impitan
kolonialisme dan imperialisme, namun mampu membebaskan dirinya karena akal
pikiran kaum intelektualnya senantiasa tetap merdeka dan berdaulat juga
bermartabat! Tak ingin menjajah dan tak sudi dijajah!
MANUSIA telah
dirumuskan oleh Sigmund Freud sebagai sebuah konstruksi yang ditentukan oleh
faktor biologis dengan memberi tekanan pada alam bawah sadar, dorongan-dorongan
biologis, represi. Sementara Karl Marx melihat manusia dideterminasi oleh
masyarakat, terutama sekali oleh sistem ekonominya. Namun, Erich Fromm, kendati
mendapatkan pengaruh besar dari dua pemikiran itu, justru menempuh jalan lain
untuk memahami dan menjelaskan karakteristik utama dari sifat dasar umat
manusia.
Dalam artian,
Fromm menempuh jalan tengah dari dua buah teori besar itu dengan menggabungkan
penemuan Freud -- atas daya psikis dinamis sadar dan tidak sadar -- dengan
menggunakan konsep karakter sosial yang diajukannya dengan gagasan-gagasan
Marx; bagaimana manusia ditentukan oleh persyaratan-persyaratan ekonomi dan
sosial.
Fromm kemudian menambahkan suatu sistem determinisme lain dari perpaduan dua hal ini: gagasan tentang kebebasan. Dia membolehkan masyarakat untuk "melampaui" determinisme yang disodorkan oleh Freud dan Marx. Bahkan, Fromm menjadikan kebebasan sebagai karakeristik utama dari sifat dasar umat manusia.
Fromm kemudian menambahkan suatu sistem determinisme lain dari perpaduan dua hal ini: gagasan tentang kebebasan. Dia membolehkan masyarakat untuk "melampaui" determinisme yang disodorkan oleh Freud dan Marx. Bahkan, Fromm menjadikan kebebasan sebagai karakeristik utama dari sifat dasar umat manusia.
Bagi Fromm,
pertanyaan pentingnya di sini adalah, apakah individu mampu mengembangkan
orientasi karakter yang produktif -- atau dengan kata lain -- menjadi makhluk
sosial dan secara otomatis mampu berhubungan dengan manusia lain dan dengan
diri sendiri dalam suatu cara yang terorientasi menuju perkembangan cinta,
nalar, dan kerja produktif: tujuan-tujuan humanistik.
Kalau Erich Fromm masih hidup dan memandang era reformasi yang saat ini mengangkangi atmosfer yang memayungi kehidupan politik di negara Republik Indonesia, ia mungkin akan terkenang pada romantisme revolusi besar kemanusiaan yang bermula dari kehidupan di Abad Pertengahan -- yang menjadi simbol dari kehidupan yang dideterminasi biologis dan sosial yang kendati kurang metampakkan kebebasan, tapi memiliki struktur, arti, tanpa keraguan, tanpa penyebab munculnya pencarian jiwa, kenyamanan, dan tak pernah menderita krisis identitas.
Sebuah perjalanan sejarah yang terentang lebih dari lima ratus tahun hanya untuk memunculkan gagasan individualisme, termasuk di dalamnya pemikiran-pemikiran individual, perasaan-perasaan, moral, hati nurani, kebebasan, dan tanggung jawab. Namun, yang kemudian disadari bersama dengan individualitas itu muncul isolasi, alienasi, kebingungan, kegelisahan: sebuah kondisi psikologis humanisme yang sungguh paradoksal.
Kalau Erich Fromm masih hidup dan memandang era reformasi yang saat ini mengangkangi atmosfer yang memayungi kehidupan politik di negara Republik Indonesia, ia mungkin akan terkenang pada romantisme revolusi besar kemanusiaan yang bermula dari kehidupan di Abad Pertengahan -- yang menjadi simbol dari kehidupan yang dideterminasi biologis dan sosial yang kendati kurang metampakkan kebebasan, tapi memiliki struktur, arti, tanpa keraguan, tanpa penyebab munculnya pencarian jiwa, kenyamanan, dan tak pernah menderita krisis identitas.
Sebuah perjalanan sejarah yang terentang lebih dari lima ratus tahun hanya untuk memunculkan gagasan individualisme, termasuk di dalamnya pemikiran-pemikiran individual, perasaan-perasaan, moral, hati nurani, kebebasan, dan tanggung jawab. Namun, yang kemudian disadari bersama dengan individualitas itu muncul isolasi, alienasi, kebingungan, kegelisahan: sebuah kondisi psikologis humanisme yang sungguh paradoksal.
Gejala paradoksal
itu pun, pada gilirannya dilahirkan pula oleh reformasi bangsa ini: sebuah
perubahan yang semula menghampirkan nilai-nilai kebebasan dalam bentuk
pengembalian kedaulatan sebuah rezim kepada rakyat. Sungguh, sebuah fakta yang
tidak boleh mengagetkan karena sangat boleh jadi substansi reformasi ini adalah
penataulangan kembali manusia dan kemanusiaan Indonesia dalam kaidah demokrasi.
Akan tetapi,
kenapa reformasi yang terjadi malah seperti telah mencampakkan harapan-harapan
yang pernah disandangnya, dengan berjalan jauh dari rel yang disediakan oleh
idealitas reformasi seperti yang diajukan oleh para mahasiswa? Kenapa reformasi
menjadi teka-teki tersendiri bagi rakyat dan bangsa Indonesia? Kenapa semuanya
seolah terlantar dan akhirnya banyak yang "mendeklarasikan" kematian
reformasi atau malah demokrasi?
Lari dari kebebasan
Tak bisa
dipungkiri, bahwa reformasi "dibeli" bangsa ini dengan harga yang
teramat mahal: keterpurukan ekonomi yang parah, krisis kebangsaan, dan sederet
krisis lainnya sampai pada tumbal nyawa. Semua itu hanya diperuntukan untuk
melepaskan diri dari cengkeraman sebuah rezim yang otoriter dan korup. Namun,
kenapa lantas tersia-sia? Menurut Fromm: Kebebasan adalah hal sulit untuk
dimiliki dan jika kita mampu, kita cenderung lari darinya.
Fromm menjelaskan tiga cara untuk "lari dari kebebasan". Pertama, otoritarianisme. Kita berusaha menghindari kebebasan melalui penggabungan diri kita dengan orang lain, dengan menjadi bagian dari suatu sistem otoritarian, seperti masyarakat di Abad Pertengahan. Ada dua cara untuk menjalankan hal ini. Satu, dengan menyerah pada kekuatan lain, menjadi pasif dan pasrah. Dua, dengan menjadi kekuasaan itu sendiri, seseorang yang menerapkan struktur pada orang lain. Mana pun yang dipilih, anda telah lari dari kebergandaan identitas Anda. Fromm menunjuk pada bentuk ekstrim dari otoritarianisme seperti masokisme dan sadisme. Kedua, destruktivitas. Penganut otoritarian memberi reaksi pada eksistensi yang menyiksa -- sedikit banyak -- dengan mencoba melenyapkan diri mereka sendiri: Jika tidak ada Aku, bagaimana sesuatu hal bisa melukai Aku? Namun, yang lain merespons rasa sakit dengan menyerang dunia: Jika aku menghancurkan dunia, bagaimana ia bisa melukai aku? Lari dari kebebasan semacam inilah yang bertanggung jawab atas banyak kejahatan dalam kehidupan ini -- kekejaman, pengrusakan, penghinaan, kriminalitas, dan terorisme. Fromm menambahkan, jika hasrat merusak seseorang terhalang oleh keadaan, ia akan mengubah arahnya justru ke dalam dirinya sendiri. Bentuk paling nyata dari penghancuran diri sendiri, tentu saja, adalah bunuh diri. Namun, bisa juga dimasukkan ke dalamnya bentuk-bentuk penyakit, kecanduan obat, alkoholik, bahkan kesenangan terhadap hiburan pasif. Ketiga, persesuaian otomaton -- orang/hewan yang bergerak secara otomatis. Kaum otoritarian lari dengan bersembunyi dalam hierarki otoritarian. Namun, masyarakat kita menekankan persamaan. Ketika ingin bersembunyi, kita bersembunyi di dalam budaya masyarakat kita. Orang yang memanfaatkan persesuaian otomaton akan seperti bunglon sosial. Ia mengubah warna sesuai warna sekelilingnya.
Fromm menjelaskan tiga cara untuk "lari dari kebebasan". Pertama, otoritarianisme. Kita berusaha menghindari kebebasan melalui penggabungan diri kita dengan orang lain, dengan menjadi bagian dari suatu sistem otoritarian, seperti masyarakat di Abad Pertengahan. Ada dua cara untuk menjalankan hal ini. Satu, dengan menyerah pada kekuatan lain, menjadi pasif dan pasrah. Dua, dengan menjadi kekuasaan itu sendiri, seseorang yang menerapkan struktur pada orang lain. Mana pun yang dipilih, anda telah lari dari kebergandaan identitas Anda. Fromm menunjuk pada bentuk ekstrim dari otoritarianisme seperti masokisme dan sadisme. Kedua, destruktivitas. Penganut otoritarian memberi reaksi pada eksistensi yang menyiksa -- sedikit banyak -- dengan mencoba melenyapkan diri mereka sendiri: Jika tidak ada Aku, bagaimana sesuatu hal bisa melukai Aku? Namun, yang lain merespons rasa sakit dengan menyerang dunia: Jika aku menghancurkan dunia, bagaimana ia bisa melukai aku? Lari dari kebebasan semacam inilah yang bertanggung jawab atas banyak kejahatan dalam kehidupan ini -- kekejaman, pengrusakan, penghinaan, kriminalitas, dan terorisme. Fromm menambahkan, jika hasrat merusak seseorang terhalang oleh keadaan, ia akan mengubah arahnya justru ke dalam dirinya sendiri. Bentuk paling nyata dari penghancuran diri sendiri, tentu saja, adalah bunuh diri. Namun, bisa juga dimasukkan ke dalamnya bentuk-bentuk penyakit, kecanduan obat, alkoholik, bahkan kesenangan terhadap hiburan pasif. Ketiga, persesuaian otomaton -- orang/hewan yang bergerak secara otomatis. Kaum otoritarian lari dengan bersembunyi dalam hierarki otoritarian. Namun, masyarakat kita menekankan persamaan. Ketika ingin bersembunyi, kita bersembunyi di dalam budaya masyarakat kita. Orang yang memanfaatkan persesuaian otomaton akan seperti bunglon sosial. Ia mengubah warna sesuai warna sekelilingnya.
Oleh karena itu,
ia tampak seperti jutaan lainnya, dia tidak lagi merasa sendirian. Mungkin ia
memang tidak sendirian, tapi ia juga bukan dirinya sendiri. Orang-orang ini
mengalami pemisahan antara perasaan aslinya dan warna yang ia tunjukan pada dunia.
Pada ujungnya dan pada kenyataannya pula, karena "sifat dasar" umat
manusia adalah kebebasan, setiap cara lari dari kebebasan di atas akan semakin
menjauhkan kita dari diri kita sendiri.
Perspektif Fromm tentang lari dari "kebebasan ini", paling tidak, menjadi deskripsi yang mecuatkan akar dari enigma, bahkan stigma yang selama ini menempel pada tema besar perubahan politik yang bernama Reformasi. Dan menjadi salah satu jawaban alternatif, ketika reformasi tak bisa meluputkan dirinya sendiri dari definisi kestatusquoannya sendiri: reformasi adalah sebuah perubahan ke arah entah ke mana.
Perspektif Fromm tentang lari dari "kebebasan ini", paling tidak, menjadi deskripsi yang mecuatkan akar dari enigma, bahkan stigma yang selama ini menempel pada tema besar perubahan politik yang bernama Reformasi. Dan menjadi salah satu jawaban alternatif, ketika reformasi tak bisa meluputkan dirinya sendiri dari definisi kestatusquoannya sendiri: reformasi adalah sebuah perubahan ke arah entah ke mana.
Sangat boleh jadi,
reformasi adalah masa jeda bagi bangsa ini untuk beringsut dari kehidupan
politik di bawah otoritarianisme ke kehidupan politik di bawah otoritarianisme
lainnya. Betapa tidak, segenap langkah untuk menunaikan amanat reformasi telah
terantuk-antuk pada batu-batu kerikil kekuatan lama yang penyebarannya sekarang
sudah meliputi seluruh ruang yang dulu sempat ditebarkan oleh elan reformasi
untuk dilalui bangsa ini menuju ke arah masa depan Indonesia baru yang jauh
lebih baik.
Apa yang terjadi
sekarang? Pengadilan Soeharto beserta kroni-kroninya, terjerembab pada wacana
sempit seputar kesehatan pemimpin Orde Baru itu. Terus saja berputar-putar
seperti itu, tanpa sedikit pun melompat pada substansi permasalahan yang
sebenarnya. Tema pengadilan Soeharto sudah sejak lama telah tercerabut dari
akar kontekstualnya.
Sementara itu,
semangat antireformasi telah lama berada di posisi mereka yang menentang
amandemen UUD 1945. Kekuatan ini tertebar rata di badan legislatif, eksekutif,
partai politik, bahkan organisasi massa partisan dan nonpartisan. Tampaknya,
kekuatan mereka cukup besar, untuk sekadar mendorong bangsa ini tercebur ke
dalam krisis konstitusi yang seperti dimaklumi akan berujung pada disintegrasi
nasional bila gagal dielaborasi secara baik.
Mau tahu nasib amanat reformasi yang bertema penegakan supremasi hukum di Indonesia? Utusan Khusus PBB Dato Param Cumaraswamy mengatakan, sistem hukum kita adalah salah satu yang terburuk di dunia! Cumaraswamy juga heran, kenapa semua bisa terjadi, apalagi ada kesan kuat semuanya dibiarkan saja. Beliau juga meragukan adanya political will dari pemerintahan Presiden Megawati untuk memperbaiki semuanya, termasuk pemberantasan KKN dan melakukan pembaruan hukum.
Mau tahu nasib amanat reformasi yang bertema penegakan supremasi hukum di Indonesia? Utusan Khusus PBB Dato Param Cumaraswamy mengatakan, sistem hukum kita adalah salah satu yang terburuk di dunia! Cumaraswamy juga heran, kenapa semua bisa terjadi, apalagi ada kesan kuat semuanya dibiarkan saja. Beliau juga meragukan adanya political will dari pemerintahan Presiden Megawati untuk memperbaiki semuanya, termasuk pemberantasan KKN dan melakukan pembaruan hukum.
Rupanya, Utusan
Khusus PBB yang satu ini tidak tahu, bahwa absennya political will yang
dimaksudkannya itu pula yang bertanggung jawab terhadap klaim kematian
reformasi, seperti yang disimbolkan oleh gagalnya pembentukan Pansus Buloggate
II di DPR. Dengan demikian, tak mengherankan apabila tindak KKN di era
reformasi ini justru semakin menggila saja dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya.
Semua itu tentu
saja bermuarakan kekecewaan rakyat yang semakin lama semakin terakumulasikan
dan sayangnya tak terelaborasikan dengan baik. "Bom waktu" kekecewaan
ini tak terelakan lagi kemudian tercecer dalam bentuk musim semi budaya
kekerasan, kriminalitas, dan maraknya kasus-kasus pengonsumsian narkoba,
minuman keras, dan banyak perilaku menyimpang lainnya.
Inilah sisi buram
dari reformasi yang pernah secara bersama-sama kita tempatkan di puncak
kesepakatan kita sebagai bangsa, yang lantas secara kolektif kita sangkal dalam
berbagai ekspresi. Seakan membenarkan teori Fromm "lari dari
kebebasan" (escape from freedom. Sebuah keputusan yang seakan
merefleksikan kebodohan kita sebagai bangsa atau justru yang merefleksikan
resistensi kita yang "membadak" untuk survive menjalankan kehidupan
di bawah kangkangan rezim otoriter. Anehnya, simpulan ini seperti menyiratkan
dengan kuat sebuah tesis menyedihkan bahwa bangsa ini merasa
"kehilangan" kehidupan penuh represi yang berasal dari sebuah rezim
yang sentralistik. Sebuah kehilangan yang sangat besar! Inikah psikologi
paradoksal bangsa Indonesia?
Entahlah! Yang
jelas, reformasi telah menjadi sistem nilai yang diliputi kabut misteri yang
tebal, hanya karena bangsa ini tak sanggup bersikukuh pada integritas tafsir
reformasi itu sendiri. Dengan begitu, yang paling disayangkan adalah bahwa
reformasi telah "diperkosa" berkali-kali oleh banyak kepentingan yang
tak satu pun di antaranya bersinggungan dengan kepentingan rakyat dan
demokratisasi.
Pada akhirnya,
kita harus membenarkan keyakinan Fromm dalam salah satu diktumnya,
"Mungkin kita gigih memperjuangkan -- sesuatu yang bersifat politik --
demi kebebasan, namun ketika kita sudah mendapatkannya, kita cenderung menjadi
kompromis dan seringkali tak bertanggung jawab."
Tentu saja, Fromm
sangat mendukung kebebasan politik, tapi terutama sekali ia ingin agar kita
mampu memanfaatkan kebebasan tersebut dan mau memikul segala tanggung jawab
yang datang bersamanya. Selain itu, manusia harus berjuang tidak saja melawan
bahaya kematian, kelaparan, atau dilukai, namun juga melawan suatu bentuk
kegusaran lain yang hanya dimiliki manusia: yaitu kegilaan. Dengan kata lain,
manusia harus melindungi diri bukan saja dari bahaya kehilangan hidup, namun
juga dari bahaya kehilangan akal pikirannya.
Padahal kita tahu
bahwa jauh sebelumnya bangsa ini pernah dipenjarakan oleh berbagai impitan
kolonialisme dan imperialisme, namun mampu membebaskan dirinya karena akal
pikiran kaum intelektualnya senantiasa tetap merdeka dan berdaulat juga
bermartabat! Tak ingin menjajah dan tak sudi dijajah!
No comments:
Post a Comment